Kamis, 19 November 2009

Sejarah Promosi Kesehatan

| |

Masa Penjajahan

Mula-mula Belanda, untuk kepentingan mereka sendiri, membentuk Jawatan Kesehatan Tentara (Militair Geneeskundige Dienst) pada tahun 1808. Itu terjadi pada waktu pemerintahan Gubernur Jendral H.W. Daendels, yang terkenal dengan pembuatan jalan dari Anyer sampai Banyuwangi, yang membawa banyak korban jiwa penduduk. Pada waktu itu ada tiga RS Tentara yang besar, yaitu di Batavia (Jakarta), Semarang dan Surabaya. Usaha kesehatan sipil mulai diadakan pada tahun 1809, dan Peraturan Pemerintah tentang Jawatan Kesehatan Sipil dikeluarkan pada tahun 1820. Pada tahun 1827 kedua jawatan digabungkan dan baru pada tahun 1911 ada pemisahan nyata antara kedua jawatan tersebut. Pada permulaannya, perhatian hanya ditujukan kepada kelompok masyarakat penjajah (Belanda) sendiri, beserta para anggota tentaranya yang juga meliputi orang pribumi. Sedangkan usaha untuk mempertinggi kesehatan rakyat secara keseluruhan baru dinyatakan dengan tegas dengan dibentuknya Jawatan/Dinas Kesehatan Rakyat pada tahun 1925. Sedangkan pelayanan kesehatan yang mula-mula dilakukan adalah pengobatan dan perawatan (upaya kuratif), melalui RS Tentara.
Pada waktu itu sebagian besar rakyat di pedesaan masih sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, kepercayaan akan tahayul, sedangkan pengobatan lebih percaya pada dukun. Ibu-ibu pada waktu melahirkan bayinya juga lebih banyak ditolong oleh dukun. Kondisi hygiene-santasi masih sangat buruk, dan berobat ke dokter masih menimbulkan rasa takut. Banyak penyakit timbul karena pola hidup yang tidak bersih dan tidak sehat. Pada waktu itu sering terjadi wabah malaria, kolera, sampar, dan cacar. Di samping itu juga sering terjadi wabah busung lapar di daerah-daerah tertentu. Sedangkan penyakit frambusia/patek/puru, kusta dan tuberkulosis merupakan penyakit rakyat. Usaha preventif pertama yang dilakukan adalah pemberian vaksin cacar yang hanya dilakukan dalam kelompok terbatas. Usaha lainnya yang sebenarnya tertua usianya adalah pengasingan para penderita kusta, tetapi itu lebih sebagai usaha pencegahan penularan semata-mata. Selain itu juga ada kegiatan pengasingan para penderita sakit jiwa, yang hanya dilakukan terhadap mereka yang berbahaya bagi masyarakat sekelilingnya.
Dengan adanya wabah kolera, pada tahun 1911 di Batavia dibentuk badan yang diberi nama “Hygiene Commissie” yang kegiatannya berupa: memberikan vaksinasi, menyediakan air minum dan menganjurkan memasak air untu diminum. Perintis usaha ini adalah Dr. W. Th. De Vogel. Selanjutnya pada tahun 1920 diadakan jabatan “propagandist” (juru penyiar berita) yang meletakkan usaha pendidikan kesehatan kepada rakyat melalui penerbitan, penyebar luasan gambar dinding, dan pemutaran film kesehatan. Usaha ini karena penghematan dihentikan pada tahun 192 Pada tahun 1924 oleh pemerintah Belanda dibentuk Dinas Higiene. Kegiatan pertamanya berupa pemberantasan cacing tambang di daerah Banten. Bentuk usahanya dengan mendorong rakyat untuk membuat kakus/jamban sederhana dan mempergunakannya. Lambat laun pemberantasan cacing tambang tumbuh menjadi apa yang dinamakan “Medisch Hygienische Propaganda”. Propaganda ini kemudian meluas pada penyakit perut lainnya, bahkan melangkah pula dengan penyuluhan di sekolah-sekolah dan pengobatan kepada anak-anak sekolah yang sakit. Timbullah gerakan, untuk mendirikan “brigade sekolah” dimana-mana. Hanya saja gerakan ini tidak lama usianya.
Baru pada tahun 1933 dapat dimulai organisasi higiene tersendiri, dalam bentuk Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten di Purwokerto. Dinas ini terpisah dari Dinas Kuratif tetapi dalam pelaksanaannya bekerjasama erat. Dalam hubungan usaha higiene ini perlu disebutkan nama Dr.John Lee Hydrick dari Rocckefeller Fundation (Amerika), yang memimpin pemberantasan cacing tambang mulai tahun 1924 sampai 1939, dengan menitik beratkan pada Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat. Ia mengangkat kegiatan Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda) dengan mengadakan penelitian operasional tentang lingkup penderita penyakit cacing tambang di daerah Banyumas. Ia menyelenggarakan kegiatan Pendidikan Kesehatan tentang Hygiene dan Sanitasi, dengan mencurahkan banyak informasi tentang penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan serta usaha pencegahan dan peningkatan kesehatan (cacing tambang, malaria, tbc.). Ia mengadakan pendekatan dalam upaya membangkitkan dan menggerakkan partisipasi masyarakat (pendekatan seperti ini nanti dikenal dengan nama “pendekatan edukatif”). Yang menonjol pada waktu itu adalah penggunaan media pendidikan (booklets, poster, film dsb) dan juga kunjungan rumah yang dilakukan oleh petugas sanitasi yang terdidik.
Sebagai pelaksana kegiatan pendidikan kesehatan dalam bidang Hygiene dan Sanitasi, seorang dokter pribumi bernama Dr. Soemedi, kemudian mendirikan Sekolah Juru Hygiene di Purwokerto. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Dr. R. Mochtar yang kemudian menjabat sebagai Kepala Bagian Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda Dienst). Sehubungan dengan karya atau usaha Dr. Hydrick itu, Dr. R. Mochtar mengemukakan sbb.:

“Selama penyelidikan itu, diadakan penerangan kepada penduduk tentang penyakit cacing dengan menggunakan film, dan gambar-ganbar sorot. Hasil penerangan itu begitu besar, hingga terjadilah keyakinan, bahwa mungkin sekali kepada penduduk diberikan pengetahuan lebih lanjut tentang kesehatan itu dan tentang penyakit dengan jalan mengadakan propaganda tentang kesehatan dan organisasi pekerjaan hygiene secara seksama.

Kemudian timbul suatu pekerjaan secara teratur dalam lapangan Medisch Hyg. Propaganda dan hygiene yang seksama di daerah-daerah desa, dibawah pimpinan dokter-dokter. Suatu daerah percontohan diadakan di wilayah Kabupaten Banyumas . Disamping itu diadakan suatu sekolah Mantri Kesehatan.
Berkat kegiatan mereka jang mendjalankan tugasnja dalam lapangan tersebut, maka pekerdjaan tadi dalam arti sebenarnyja mendjelma sebagai suatu pendidikan tentang kesehatan kepada rakyat bukan saja suatu medisch hygiensche propaganda.
Meskipun para pegawai acapkali menghadapi orang-orang jang salah faham tentang pekerjaan itu dan mengalami berbagai penghinaan, akan tetapi dengan penuh keyakinan tentang kesucian pekerjaan itu, mereka menjalankan tugasnya, sehingga pendidikan kesehatan rakjat itu memperoleh tempat dalam usaha Pemerintahan dalam lapangan kesehatan rakjat, bahkan sejak pecahnya revolusi pada tahun 1945 di Indonesia telah dibangun urusan hygiene desa atas dasar pendidikan kesehatan rakyat.
Perang dunia ke II mengakibatkan datangnya zaman baru. Arus gelombang gerakan kesehatan rakyat di dunia telah juga meliputi Indonesia. Di Indonesia filsafat kesehatan yang dianjurkan oleh W.H.O. itu diterima pula dan dijadikan dasar dalam gerakan kesehatan rakyat di Indonesia. Oleh karena itu dapat diramalkan, bahwa pekerjaan Pendidikan Kesehatan Rakyat itu terus menerus akan memperoleh perhatian besar dari pemerintah, maupun masyarakat. Filsafat yang diandjurkan oleh W.H.O. itu ialah, bahwa kesehatan itu adalah :

“a state of complete physical, mental and social wellbeing and not merely the absence of disease or infirmity”(Suatu keadaan sempurna mengenai tubuh, rohani dan sosial, bukan saja tidak ada penjakit, uzur arau cacad).

Riwayat Kesehatan Rakyat memperlihatkan, bahwa pada permulaannya Usaha Kesehatan Rakyat itu ditujukan kepada usaha menyehatkan lingkungan hidup dan pemberantasan penjakit; usaha itu didjalankan untuk rakyat dengan jika perlu menggunakan juga undang-undang.
Akan tetapi dalam bentuk Usaha Kesehatan Rakyat yang paling baru, usaha-uaaha itu dijalankan untuk rakyat dengan ikut sertanya rakyat. Ini berarti bahwa penyelenggaraanUsaha Kesehatan Rakyat itu membutuhkan juga gerakan rakyat ke jurusan tadi. Hal ini sungguh lebih sukar daripada menjalankan usaha itu tidak dengan syarat bahwa rakjat juga harus ikut mengadakan inisiatif.
Inisiatif rakyat tadi perlu dibangunkan dengan jalan pendidikan, agar rakyat dapat mengerti dan suka sama-sama bekerja dengan pemerintah untuk keperluan mereka sendiri. Bantuan rakyat itu harus berdasarkan atas inteligensi”.

(R.Mochtar, M.D.,M.P.H. –1954, tulisan sudah disesuaikan dengan ejaan baru)

Pendidikan Kesehatan Rakyat

Dalam tulisannya tersebut, Dr. R. Mochtar jelas memberikan gambaran betapa penting arti Pendidikan Kesehatan Rakyat dalam upaya membangkitkan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam Kesehatan Rakyat, yang sejak sebelum Hydrick, yaitu 1911, sudah mulai digalakkan oleh pemeritah Belanda. Ada bebarapa pokok penting yang dapat diangkat dari tulisan Dr. R.Mochtar, yaitu :


  1. Pendidikan Kesehatan Rakjat (PKR) sudah dirasakan pentingnya sejak permulaan abad ke XX, namun direalisasikan dalam bentuk kegiatan nyata baru dalam tahun 1911, yang dikenal dengan nama Medisch Hygienische Propaganda.

  2. Pendidikan Kesehatan Rakyat (PKR) terkait pada program kesehatan, yaitu Hygiene dan Sanitasi lingkungan (PKR bukan suatu program yang berdiri sendiri)

  3. Walaupun Pendidikan Kesehatan merupakan bagian dan kegiatan terintegrasi dalam program-program kesehatan, namun hal ini perlu ditangani secara “professional”. Untuk ini perlu organisasi/unit kerja khusus yang menangani Pendidikan Kesehatan, dan diperlukan pula tenaga terdidik atau terlatih. Dalam hal ini tenaga sanitasi, disiapkan untuk mampu memberikan pendidikan tentang kesehatan dan sanitasi kepada masyarakat desa, disertai alat/media pendidikan (Audio Visual Aid ). Tenaga “Health Educators” ini bekerja dengan penuh keyakinan dan dedikasi.


Pada waktu itu sudah ada anggapan bahwa Pendidikan Kesehatan tidak diperlukan, jika masyarakat telah maju. Hal ini tidak dibenarkan oleh Dr.R.Mochtar, karena kenyataan memperlihatkan bahwa di negara-negara yang telah majupun kegiatan Pendidikan Kesehatan Rakyat masih diperlukan dan dilaksanakan. Cara pendekatan, metodologi serta tehnologi yang dipergunakan disesuaikan dengan kemajuan masyarakat setempat.
Sedangkan Dr. J. Leimena (1952) mengangkat beberapa prinsip “pioneering job” Dr. J.L. Hydrick, khususnya yang berkaitan dengan pentingnya health education, sbb.:
Principles : The idea underlying the organization of this intensive hygiene work was the belief that if health education could instill in the people an understanding of the fundamental rules of hygiene and a realization of the importance and necessity of healthful habits of life, many diseases and condition might be brought under control and in time might be eradicated.
Purpose : The purpose of the work is to awaken in the people a permanent interest in hygiene and stimulate them to adopt habits and to carry out measures which will help them secure health and remain healthy.
Cooperation of the people: In order to secure the cooperation of the people, health education work must propose practicable measures, so that the people will be able to give cooperation. Further it is of the greatest importance that not only the children be taught hygiene and health, but that also the adults be taught at the same time, so that each group will support the other. This cooperation is very valuable.
The spirit of the approach : …They should be lead, not driven. They should be stimulated and lead to express a desire to live more hygienically. It is the task of the health worker to create the desire.
A subject with which to begin : ….to begin with an attempt to bring about in the people an understanding of the fundamental facts involved in the cause, transmission and prevention of a wide spread chronic disease.
….if the people can be taught that they themselves can carry out certain simple measures which will help them to avoid one of the chronic diseases, they will learn to live more hygienically and thus build up their resistance to many other diseases.

Laying the foundation for general hygienic work: If this new sanitary habits become permanent, then there has been laid the foundation upon which general hygiene work can be built

…..It was therefore not intended that the Division of Public Health Education should conduct only a campaign against soil and water pollution, but it should thereby lay a foundation for a broad general campaign for hygiene by teaching the dangers of the pollution of soil and water.

Memaknai apa yang diuraikan dalam kutipan tersebut di atas, ada contoh menarik. PT Unilever dalam rangka mempromosikan produksinya berupa sabun mandi dan pasta gigi, sering mengadakan bioskop keliling dengan layar tancap. Pada zaman belum ada televisi, bioskop semacam ini sangat digemari oleh masyarakat, terutama di pedesaan. Di sela-sela pertunjukan film dengan cerita tertentu sering diselipkan pendidikan/penyuluhan kesehatan. Yaitu dengan selipan slide film yang antara lain menunjukkan tokoh kartun yang memerankan petugas laboratorium yang sedang meneropong secawan air mentah dengan mikroskop. Melalui alat itu terlihat bahwa air mentah itu banyak mengandung kuman atau bakteri dengan berbagai bentuk yang berkeliaran, berjingkrak-jingkrak dan menari-nari di dalam air tersebut. Adegan berikutnya adalah air di cawan itu langsung diminum oleh tokoh kartiun yang lain dengan akibat beberapa lama kemudian merasakan sakit perut dan beberapa kali buang air besar. Lalu dijelaskan oleh narrator dari slide film tersebut itulah akibatnya apabila kita minum air tanpa dimasak lebih dahulu. Sang narrator menganjurkan agar air sebelum diminum agar dimasak lebih dahulu. Kemudian ditunjukkan slide film berikutnya bahwa melalui mikroskop terlihat bahwa kuman-kuman itu pada mati dan tidak berkeliaran lagi dalam air yang sudah dimasak. Sang narrator menjelaskan bahwa air yang sudah dimasak aman dari gangguan penyakit. Dari silide film sederhana ini ternyata banyak penduduk pedesaan yang memasak air sebelum diminum.

“Prevention is better than cure”

Usaha Kesehatan Rakyat yang semula lebih ditekankan pada usaha kuratif, lambat laun berkembang pula kearah preventif. Sebagian dari usaha kuratif diserahkan pada “inisiatif partikelir” (1917 – 1937) seperti Zending, Missie, Bala Keselamatan (Leger des Heils), perusahaan perkebunan. (Dr.J.Leimena, 1952). Dalam tahun 1937 sampai meletusnya Perang Dunia ke II, Pemerintah Pusat menyerahkan usaha kuratif kepada daerah otonom, namun tetap diawasi dan dikoordinir oleh Pemerintah Pusat.
Seiring dengan perkembangan dalam bidang kuratif, maka usaha preventif juga berkembang. Usaha kuratif dan preventif mulai digalakkan dan dikembangkan di perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda yang memang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan para pekerja perkebunan, dan dengan demikian meningkat pula daya kerja (arbeidscapaciteit) dan daya produksinya (productie capaciteit) .
Penelitian dalam bidang bakteriologi dan epidemiologi menambah luas wawasan pengetahuan tentang sebab penyakit menular dan cara pencegahannya, seperti, cholera, desentri, typhus. Demikian pula halnya dengan penelitian tentang penyakit rakyat, seperti TBC, frambusia, cacing tambang, malaria dsb. Agar masyarakat sadar dan berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan upaya peningkatan kualitas kesehatannya, maka sudah pada tempatnya jika informasi terkini mengenai perkembangan dalam bidang kesehatan dapat disalurkan ke masyarakat, seperti penyebab penyakit, cara penangulangannya atau cara pencegahannya. Disinilah Pendidikan Kesehatan dapat mewujudkan perannya dengan jelas.
Apa yang telah dirintis oleh Hydrick tersebut kemudian ternyata dilanjutkan oleh Pemeritah (Belanda). Perhatian Pemerintah Belanda terhadap usaha preventif dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, tindakan dan peraturan (perundang-undangan). Motto yang berbunyi “Prevention is better than cure” diwujudkan dalam berbagai kegiatan a.l. :


  • vaksinasi cacar, typus, cholera, desentri, pes

  • pendaftaran kelahiran, kematian

  • pelaporan tentang penyakit menular, sakit jiwa

  • pengawasan : air minum, pabrik, tempat pembuatan makanan dan minuman, saluran limbah ait/riolering, pembuangan sampah, perumahan.

  • Termasuk upaya pendidikan kepada rakyat tentang peraturan dalam pemeliharaan kesehatan diri dan lingkungan.


Dengan demikian upaya pencegahan semakin dipandang sebagai usaha yang penting, demikian pula upaya pendidikan kesehatan kepada masyarakat.

Masa Pendudukan Jepang dan Awal Kemerdekaan

Dengan pecahnya Perang Dunia ke II dan pendudukan Jepang (1942 –1945) maka semua sistem pemerintahan praktis mengalami disorganisasi, karena semua usaha ditujukan untuk kepentingan perang (Pemerintahan dan orang-orang Jepang). Pendidikan, ekonomi, kehidupan sosial, kesehatan amat sangat terpuruk. Sumber daya alam dan sumber daya manusia, semua dikerahkan untuk kepentingan Jepang. Dimana-mana hanya terlihat kemiskinan, penderitaan, kelaparan, dan penyakit. Hidup masyarakat sangat tertekan. Situasi ini berlangsung sampai tahun 1945, saat berakhirnya Perang Dunia ke II. Pada tahun 1945 Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan serta memperjuangkannya dengan melawan tentara sekutu (Amerika dan Inggris) dan Belanda yang ingin memperoleh kembali supremasi penjajahannya di Indonesia.
Disorganisasi Usaha Kesehatan Masyarakat yang sejak zaman pendudukan Jepang sudah kacau, berlangsung terus dalam periode revolusi fisik (1945 – 1949). Banyak fasilitas Kesehatan tidak dapat dipergunakan karena rusak, bahkan para petugas kesehatan pun banyak yang meninggalkan posnya, bergabung dalam barisan gerilyawan melawan Belanda, Amerika dan Inggris. Dalam kaitan itu perlu dicatat bahwa banyak tenaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang menjadi pejuang dan di antaranya ada yang gugur di medan perang, atau menjadi korban perang.
Dalam periode revolusi fisik itu (Agustus 1945 – Desember 1949), masih ada dua sistem pemeritahan, yaitu Belanda yang berpusat di Jakarta, dan Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Dengan demikian maka selama 8 tahun (1942 – 1949), Indonesia mengalami masa yang sangat memprihatinkan. Banyak fasilitas kesehatan yang tidak dapat dipergunakan, karena rusak, ditinggalkan, bahkan para petugas kesehatanpun meninggalkan posnya untuk turut bergabung dengan para gerilyawan. Obat-obatan didaerah Republik juga sulit.
Baru setelah penyerahan Kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintah memberikan perhatian pada kesehatan rekyat. Pemerintah (RI) juga memberikan perhatiannya pada kesehatan masyarakat di desa. Pada waktu itu dikembangkan Usaha Pembangunan Masyarakat Desa yang antara lain melakukan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Pada waktu itu ada yang disebut Gerakan Kebersihan, Pekan Kerja Bakti, dll. Diadakan pula Usaha Kesehatan di sekolah-sekolah, yang berkaitan dengan kebersihan diri dan lingkungan, perbaikan gizi, dll. Bahkan di masa masih bergolak (1948) sudah didirikan sekolah untuk penyuluh kesehatan di Magelang dan dibuat dua daerah percontohan, yaitu di Magelang dan Yogyakarta.



Empat Sehat Lima Sempurna dan “Bandung Plan”

Pada sekitar tahun 1950 an itu masalah gizi cukup menonjol. Dengan ukuran sesuai Nutritional Standard (`id`, `date`, `writer`, `title`, `pict_name`, `pict_dname`, `attach_name`, `attach_dname`, `news_type_id`, `description`, `lang`, `attach1_name`, `attach1_dname`, `attach2_name`, `attach2_dname`, `dt_created`, `dt_updated`) VALUES ditentukan tingkat keadaan gizi dengan menggunakan indeks. Dengan demikian dapat ditentukan keadaan gizi: kurang, minimal, normal, atau optimal. Golongan gizi minimal oleh Prof. Dr. Poerwo Soedarmo disebut golongan “tidak sakit dan tidak sehat”. Sementara itu “kwashiorkhor” dan “xerophthalmia” sebagai masalah gizi pda golongan anak para sekolah mendapat banyak perhatian. Selain penyelidikan secara mendalam, usaha perbaikan dilakukan melalui penyuluhan gizi dan penggalian sumber makanan bernilai gizi.
Penerangan kepada masyarakat dilaksanakan melalui kursus yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi, maupun melalui pers dan radio. Pada waktu itu diperkenalkan semboyan atau pesan : “Empat Sehat Lima Sempurna”, sesuai dengan pola makanan Indonesia. Pesan tersebut berhasil disebar luaskan dan menjadi populer. Pesan tersebut juga banyak terpampang di dinding-dinding sekolah. Pengertian semboyan tersebut ternyata berhasil dihayati masyarakat. Pesan itu sangat efektif dan mudah dihafal, bahkan masih relevan sampai sekarang.
Selanjutnya pada sekitar tahun 1951, oleh Dr. J. Leimena dan Dr. Patah diperkenalkan “Konsep Bandung” atau “Bandung Plan”, yang menggambarkan perpaduan antara upaya kuratif dan preventif. Konsep tersebut sebenarnya tidak lain dari konsep Communiyty health, yang merupakan dasar bagi pengembangan Puskesmas, yang kemudian menjadi pembuka program kesehatan masyarakat desa dan upaya pendidikan kesehatan masyarakat secara luas. Dengan demikian masyarakat pedesaan akan mempunyai akses lebih dekat ke Pelayanan Kesehatan. Hal ini dianggap penting, karena sebagian besar masyarakat Indonesia ada di pedesaan, dan di masa lalu masyarakat desa kurang mendapat perhatian dalam pelayanan kesehatan.
Program pembangunan kesehatan untuk periode 10 tahun (1950-1960) telah digariskan dalam konperensi Kementerian Kesehatan tahun 1952 di Jakarta. Isi program mencakup kebijaksanaan umum dan khusus. Usaha kuratif dan preventif yang ditempuh sesuai dengan rumusan WHO mengenai kesehatan, yaitu: “a state of complete physical, mental and social well being, and not merely the absence of disease or infirmity”. Tujuan pemerintah adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Indonesia untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa Indonesia agar memiliki kemampuan kerja semaksimal mungkin.

3.

1 komentar:

Ir arriba
Purwanti ayie mengatakan...

aduuuhh>........
q bangga decH maa upie bza tao tw zaman pnjajahn............
hdup dzaman penjajahn toe

Posting Komentar

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba